KEUNGGULAN ISLAM
Ihdinashshirathal mustaqim

Home

AL-QURAN | HADIS | BAHR AL-MAADZI | SEJARAH | TOKOH ISLAM | TAZKIRAH | PERSOALAN | ALBUM | PERBINCANGAN | FAIL | NASYID | LINK

"Tujukilah kami jalan yang lurus." (1: 6).

Para jumhurul ulama membacnya dengan memakai huruf "shod". Ada pula yang membaca dengan huruf "za" (azzirath). Al-Farra' mengatakan, "Hal ini merupakan bahasa Bani Udzrah dan Bani Kalab."

Setelah menyampaikan pujian kepada Allah SWT, dan hanya kepada-Nya permohonan ditujukan, maka layaklah jika hal itu diikuti dengan permintaan. Sebagaimana firman-Nya, "Setengah untuk-Ku dan setengah lainnya untuk hamba-Ku. Dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta."

Yang demikian itu merupakan keadaan yang amat sempurna bagi seorang yang mengajukan permintaan. Pertama, ia memuji Rabb yang akan diajukan permintaan kepada-Nya dan kemudian memohon keperluannya sendiri dan keperluan saudara-saudaranya dari kalangan orang-orang yang beriman, melalui ucapannya, "Ihdinashshirathal mustaqim" (Tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus).

Karena, yang demikian itu akan lebih memudahkan pemberian apa yang dihajatkan dan lebih cepat untuk dikabulkan. Untuk itu Allah Tabaraka wa Ta'ala membimbing kitya agar senantiasa melakukannya, sebab yang demikian itu lebih sempurna.

Permohonan juga dapat diajukan dengan cara memberitahukan keadaan dan kebutuhan orang yang mengajukan permintaan tersebut. Sebagaimana yang diucapkan Musa as, "Ya Rabbku, sesungguhnya aku sangat memerlukan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku." (Al-Qashash: 24).

Permintaan itu bisa di dahului sebelumnya dengan menyebutkan sifat-sifat yang akan diminati, seperti ucapan Dzun Nun (Nabi Yunus as), Tidak ada ilah selain Emngkau. Maha suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang dzalim." (Al-Anbiya: 87).

Tetapi, terkadang hanya dengan memuji kepada-Nya, ketika meminta, sebagaimana yang diungkapkan ooleh seorang penyair:
Apakah aku harus menyebutkan kebutuhanku, ataukah cukup bagiku rasa malumu
Sesungguhnya rasa malu merupakan adat kebiasaanmu
Jika suatu hari seseorang memberikan pujian kepadamu, niscaya engkau akan memberinya kecukupan

Kata hidayah pada ayat ini berarti bimbingan dan taufik. Terkadang kata hidayah (muta addi/transitfi) dengan sendirinya (tanpa huruf lain yang berfungsi sebagai pelengkapnya), seperti pada firman-Nya di sini, "Tunjukkanlah kepada kami jalan yang lurus." Dalam ayat tersebut terkandung makna, berikanlah ilham kepada kami, berikanlah taufik kepada kami, berikanlah rezeki kepada kami, atau berikanlah anugerah kepada kami.

Sebagaiamana yang ada pada firman-Nya, "Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan." (Al-Balad: 10). Artinya, kami telah menjelaskan kepadanya jalan kebaikan dan jalan kejahatan. Selain itu, dapat juga menjadi muta addi' (transitif) dengan memakai kata "ila", sebagaimana firman-Nya, "Allah telah memilihnya dan menunjukkannya kepada jalan yang lurus." (An-Nahl: 121).

Makna hidayah dalam ayat-ayat di atas ialah dengan pengertian bimbingan dan petunjuk. Demikian juga firman-Nya, Dan sesungguhnya engkau (Rasulullah saw) benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus." (Asy-Syura': 52).

Terkadang kata hidayah menjadi muta addi dengan memakai kata "li" sebagaimana yang diucapkan oleh para penghuni surga, "Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada surga ini." (Al-A'raf: 43), Artinya, Allah memberikan taufik kepada kami untuk memperoleh surga ini dan Dia jadikan kami sebagai penghuninya.

Sedangkan mengenai firman-Nya, "Syirathal mustaqim", Imam Abu Ja'far bin Jarir mengatakan, ahlut tafsir secara keseluruhan sepakat bahwa ash-shirathal mustaqim itu adalah jalan yang terang dan lurus.

Kemudian terjadi perbedaan ungkapan para mufassir, baik dari kalangan ulama salaf maupun khalaf dalam menafsirkan kata ash-shirath, meskipun pada prinsipnya kembali kepada satu makna, yaitu mengikuti Allah dan Rasul-Nya.

Jika ditanyakan, mengapa seorang mukmin meminta hidayah pada setiap saat, baik pada waktu mengerjakan salat maupun di luar salat, padahal ia sendiri menyandang sifat itu. Apakah yang demikian itu termasuk tahshilul bashil (berusha memperoleh sesuatu yang sudah ada)?

Jawabnya adalah tidak. Kalau bukan karena dia perlu memohon hidayah siang dan malam hari, niscaya Allah SWT tidak akan membimbing ke arah itu. Sebab, seornag hamba senantiasa membutuhkan Allah setiap saat dan situasi agar diberikan keteguhan, kemantapan, penambahan, dan kelangsungan hidayah, karena ia tidak kuasa membarikan manfaat atau mudharat kepada dirinya sendiri kecuali Allah menghendaki.

Oleh karena itu, Allah SWT selalu membimbingnya agar ia senantiasa memohon kepada-Nya setiap saat dan supaya Dia memberikan pertolongan, keteguhan, dan taufik.

Orang yang berbahagia adalah orang yang diberi Allah taufik untuk memohon kepada Allah. Sebab, Allah telah menjamin akan mengabulkan permohonan seseorang jika ia memohon kepada-Nya, apalagi permohonan orang yang dalam keadaan terdesak dan sangat membutuhkan bantuan-Nya pada tengah malam dan siang hari. Firman Allah SWT, "Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya." (An-Nisa': 136).

Allah telah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk tetap beriman. Dan, hal itu bukan termasuk tahshilul hashil, karena maksudnya adalah ketetapan, kelangsungan, dan kesinambungan amal yang dapat membantu kepada hal tersebut.

Allah SWT juga berfirman memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman untuk mengucapkan (doa):
"Ya Rabb kami, jangan Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu, karena sesungguhnya Engkau Maha Pemberi (karunia)." (Ali Imran: 8).

Abu Bakar ash-Shidiq pernah membaca ayat ini dalam rekaat ketiga pada salat Maghrib secara sirri (tidak keras) setelah selesai membaca Al-Fatihah.

Dengan demikian, makna firman-Nya, "Ihdinashshirathal mustaqim" adalah "Semoga Engkau terus berkenan menunjuki kami di atas jalan yang lurus itu dan jangan Engkau simpangkan ke jalan yang lainnya."

Sumber: Terjemahan Lubabut Tafsir Min Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir), Tim Pustaka Imam as-Syafi'i

TAFSIRAN SURAH AL-FATIHAH